Pandangan Trust Indonesia Soal Retret, Himbauan Mega dan Sanksi Publik

JAKARTA, iNewsCianjur.id - Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri belum lama ini mengejutkan jagat politik merespon KPK yang menjadikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto sebagai tersangka terkait kasus Harun Masiku.
Megawati pun akhirnya mengambil tindakan yang oleh banyak pihak dimaknai sebagai sebuah perlawanan. Secara tiba-tiba Megawati mengeluarkan surat bersifat instruktif meminta para kadernya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah untuk menunda keikutsertaan dalam agenda retret yang digelar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Sontak manuver Megawati tersebut hingga kini masih menjadi perbincagan publik secara luas. Bahkan Mantan Presiden Jokowi pun ikut angkat bicara.
Menanggapi hal itu, Direktur Riset Trust Indonesia, Ahmad Fadhli berpandangan bahwa agenda retret dilihat dari sudut pandang apapun sangat bermanfaat tidak hanya sebagai ajang saling mengenal antara sesama Kepala Daerah juga memastikan sinergitas dan sinkronitas agenda pemerintah pusat dan daerah bisa jauh lebih kuat.
“Meski bukan sesuatu yang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah, tetapi agenda retret itu banyak manfaatnya untuk saling mengenal Kepala Daerah dan memperkuat agenda pemerintah pusat pada pemerintah daerah. Sebab selama ini, kuat dugaan tidak sejalannya agenda pemerintah pusat dan pemerintah daerah karena memang kurang kuatnya Intensi dan komunikasi antara Pemerintah Pusat-Pemerintah Provinsi-Pemerintah Kabupaten/ Kota,” tegas Fadhli dalam keterangan tertulis pada media, Selasa (25/2/2025).
Menurut Fadhli, Skema Retret ini diharapkan dapat mengubah cara pandang pemerintah daerah kepada pemerintah pusat begitupun sebaliknya. Termasuk menegaskan sikap dan agenda pemerintahan pusat (Prabowo-Gibran) dalam menunjang pembangunan di daerah.
“Karena itu, jika Ketum PDIP Megawati mengimbau Kepala Daerah (kader PDIP-red) untuk tidak datang tentu kontraproduktif dengan tujuan yang diinginkan pemerintah pusat. Secara politik, himbauan itu bisa ditafsirkan sebagai upaya untuk membuat ketidaksinkronan koordinasi dan komunikasi antara pemerintah daerah-pemerintah pusat,” tuturnya.
Dalam UU jelas dan tegas, lanjut Fadhli, bahwa Kepala Daerah bertanggungjawab pada rakyat dan bukan partai politik yang mengusungnya. Retret juga harus dimaknai sebagai upaya untuk mengkonsolidasikan seluruh potensi kemajuan daerah untuk kepentingan rakyat di masing-masing daerah. Sebab sekali lagi dalam momentum itu, Presiden-Gubernur-Bupati-Walikota bisa berdialog dan bertukar pikiran untuk membangun daerah masing-masing. Koordinasi dan kesatuan gerak ini menjadi bagian terpenting dalam agenda retret.
Sementara terkiat sanksi hukum, Fadhli menegaskan tidak melihat implikasi hukum apapun bagi Kepala Daerah yang tidak mengikuti retret karena loyalitas dan kepatuhan pada partai. Hanya saja yang paling memungkinkan sanksi moral akan mereka terima.
“Sanksi hukum tentu tidak ada. Karena memang tidak ada dasar hukumnya. Akan tetapi sanksi moral tentu muncul jika Kepala Daerah sengaja tidak ikut retret karena perintah Ketua Umum partai. Terutama kesan yang muncul di publik bahwa Kepala Daerah tersebut ternyata lebih patuh kepada Ketua Partai ketimbang Presiden Republik Indonesia,” kata Fadhli.
Sanksi moral dimakud, menurut Fadhli menyangkut hubungan yang kurang baik dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Kepala Daerah yang sengaja tidak ikut retret tentu akan di-highlight oleh Kemendagri dan bisa jadi akan mendapat perlakuan yang berbeda jika ada urusan dan kepentingan dengan Kemendagri.
“Sanksi moral juga tentu membebani PDIP yang dianggap mengambil sikap politik yang tidak dewasa. Gara gara penahanan Hasto, Ketum PDIP Mega memberikan himbauan yang merugikan dan kontraproduktif bagi masyarakat yang Kepala Daerahnya diminta untuk tidak hadir,” tandasnya.
Masyarakat pun akan dapat menilai perilaku politik PDIP. Semua rekam jejak ini tentu akan bermuara pada penilaian sementara publik atas citra PDIP yang tidak elegan serta mungkin dalam jangka panjang akan berdampak pada penilaian elektoral yang akan berlangsung pada 5 tahun mendatang.
“Mengutip Quote Manuel L Quezon (Presiden Filipina): “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begin...”. Saya kira Megawati seharusnya juga bisa berpikir bijak seperti quote tersebut,” tutupnya.
Editor : Furqon Munawar