JAKARTA, iNewsDepok.id - Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso meminta Tim Gabungan yang dibentuk Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit agar mengotopsi ulang jenazah Brigadir J yang tewas di rumah Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.
Ia meyakini, jika otopsi ulang dilakukan, akan terungkap apakah kematian Brigadir bernama lengkap Nofriansyah Yosua Hutabarat itu memang akibat baku tembak dengan Bharada E, atau karena disiksa.
"Tim Gabungan yang dibentuk Kapolri sedang bekerja untuk mengungkap kasus ini sesuai keinginan Kapolri, yakni diungkap secara transparan dan berkeadilan," kata Sugeng melalui keterangan tertulis, Sabtu (16/7/2022).
Kendati begitu, lanjutnya, merujuk hasil sementara Tim Gabungan, IPW memberikan beberapa catatan.
Pertama, dari penyelidikan yang sudah berjalan, belum ada informasi bahwa tim akan melakukan otopsi ulang terhadap jenazah Brigadir J.
"Oleh karena itu, IPW mengharapkan Tim Gabungan melakukan otopsi ulang atas jenazah Brigpol (Brigadir Polisi) J," katanya.
Kedua, saat otopsi ulang, IPW meminta Tim Gabungan melalui dokter forensik kehakiman untuk mendalami luka sayatan pada wajah, seperti pada bibir dan hidung, untuk mengungkap penyebabnya.
"IPW berkeyakinan bahwa luka pada wajah bukan akibat recoshet proyektil, akan tetapi akibat aniaya dengan senjata tajam atau menggunakan alat lain atau setidaknya bukan terkena proyektil," katanya.
Sugeng menegaskan, jika keyakinannya benar, maka hal itu akan berimplikasi pada adanya perbedaan secara diametral terhadap kesimpulan tentang peristiwa yang dialami Brigpol J sebelum tewas, yaitu bahwa benar terjadi baku tembak antara Brigpol J dengan Bharada E, atau Brigpol J dieksekusi tanpa perlawanan.
Ketiga, terkait adanya campur tangan dari pihak lain yang mengakibatkan rusaknya sejumlah alat bukti, seperti CCTV di rumah singgah Kadiv Propam, CCTV di pos keamanan, dan hilangnya barang bukti berupa ponsel milik Brigpol Yosua.
"IPW mendorong Tim Gabungan agar menerapkan pasal 233 KUHP, karena dari barang bukti CCTV akan dapat diketahui tentang orang-orang yang ada di TKP, yang berpotensi tahu atau terlibat dalam kasus yang menewaskan Brigpol Yosua," imbuhnya.
Sugeng juga meyakini kalau ponsel Brigpol Yosua akan dapat memberi penjelasan tentang profiling psikologis Brigpol Yoshua sebelum tewas, sehingga dapat membuka motif apa sesungguhnya yang menjadi latar belakang kasus ini.
"Tindakan merusak barang bukti dan penghilangan handphone ini harus diselidiki sebagai perkara berdiri sendiri terhadap siapapun yang melakukannya. Tidak terkecuali termasuk pada pihak-pihak yang kalau ada diduga membuat cerita bohong dalam kasus ini. Karena hal itu sudah dapat disebut sebagai obstruction of justice, menghalangi proses hukum," katanya.
Seperti diketahui, kasus yang mewaskan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat terjadi pada 8 Juli 2022 sore di rumah Irjen Pol Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, dan baru dipublikasikan polisi pada 11 Juli 2022.
Polisi mengatakan, peristiwa berawal ketika Brigadir J memasuki kamar istri Irjen Ferdy dan melakukan pelecehan, bahkan menodongkan senjata kepadanya. Istri Ferdy teriak dan Brigadir J berlari ke luar kamar.
Saat Brigadir J meninggalkan kamar itu, Bharada E melihatnya, dan menanyakan apa yang terjadi, tetapi alih-alih menjawab, Brigadir J melepas tujuh tembakan ke arah Bharada E, dan dibalas Bharada E dengan lima kali tembakan. Brigadir J pun tewas.
Namun, saat keluarga menerima jenazah Brigadir J dan memeriksanya, mereka bukan hanya menemukan luka tembak, tetapi juga luka sayatan di beberapa bagian tubuh, termasuk wajah, dan dua jarinya putus.
Untuk diketahui, pasal 233 KUHP menyatakan; "barangsiapa dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai, menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum, terus menerus atau untuk sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang pejabat, ataupun kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun".
Editor : Nursidik