CIANJUR, iNewsCianjur.id - Seorang petugas pemuktahiran data dan pemilih (Pantarlih), Diana Rahmawati (20) di tempat pemungutan suara (TPS) 5 Kampung Cibitung, Desa Sukalaksana Kecamatan Sukanagara membagikan pengalamannya selama menjadi bertugas memperbaharui data pemilih dengan pencocokan dan penelitian (Coklit) Pilkada 2024.
Selama bertugas, dirinya kerap mengalami hal-hal lucu yang membuat pewarta tertawa karena tergelitik dengan caranya menceritakan pengalamannya.
Semua berawal saat dirinya harus bertugas sendiri di TPS 5 Desa Sukalaksana, karena jumlah pemilihnya tak lebih dari 400. Tepatnya 398 orang.
TPS 5 pun mencakup tiga RT di Desa Cibitung, yakni RT 01, 02, dan 03. Di RT 03, kata Diana, berada dekat dengan Kantor Desa Sukalaksana, sementara dua RT lainnya, sedikit masuk ke daerah pedalaman.
"Saya tinggal di RT 03, paling jauh itu RT 01 dekat dengan kantor desa. Yang pedalaman ada di RT 02, untuk ke sana harus jalan sekitar satu kilometer lagi karena perkampungannya sangat luas," ungkapnya.
Dirinya mengaku baru pertama kali menjadi Pantarlih, dan pengalaman yang dia dapatkan pun diakui sangat berharga.
Dikejar Anjing Pemburu
Di kampungnya itu, masih diselimuti area hutan dan perkebunan, sehingga banyak dari warganya yang hobi _moro_ atau berburu hewan liar menggunakan anjing.
"Banyak yang masih suka _moro_. Jadi banyak yang memelihara anjing pemburu," kata mahasiswi Universitas Terbuka (UT) Sukanagara itu.
Saat akan coklit data pemilih di RT 02, sudah ada tiga ekor anjing pemburu yang menantinya. Tiga anjing itu terus mengikutinya selama berkunjung ke area perkampungan tersebut.
"Saat saya akan lakukan coklit di area itu, sudah ada tiga anjing pemburu yang mengikuti saya jalan. Saat beranjak ke kampung sebelah dan melewati pemancingan, ada anak kecil yang melempari anjing itu dengan batu," ujar Dinda.
Dirinya tahu pasti tiga anjing itu marah dan mengejarnya. Hal itu membuatnya panik dan lari terbirit-birit hingga ke area permukiman lain yang jaraknya lumayan jauh.
"Saya sendirian, lari jarak jauh, sambil menggendong alat-alat kebutuhan coklit yang banyak. Anjingnya berhenti mengejar saya ada bapak-bapak yang lagi ngarit mengusirnya," kata dia.
Setelah selesai coklit di permukiman yang dia sebut, Diana pun berencana pulang melawati jalan yang sama. Tak disangka-sangka, tiga anjing yang mengejarnya masih ada. Diana dicegat anjing.
"Di situ saya nangis, karena bapak yang ngarit sudah tidak ada, mana mendung dan sudah sore. Saya sendirian bingung. Untungnya masih ada jalan lain, walau pun harus melewati area hutan yang masih rimbun, banyak kuburan, dan tak ada rumah warga," tutur Diana.
"Saya tidak mau dikejar anjing _part_ dua," imbuh Diana.
Coklit di Kuburan
Suatu hari, dirinya mendatangi rumah warga yang akan dilakukan ciloklit, masih di Kampung Cibitung.
Kebetulan, orangtua warga yang akan didata sudah wafat dan tak mengingat tanggal kematiannya. Warga itu pun menyuruhnya untuk melihat batu nisan orangtuanya untuk memastikan.
"Nya mangga wae ka makom na langsung (silakan langsung cek ke makamnya) kata warga. Jadi mau tak mau saya harus cek batu nisannya," ungkap Diana.
Diana pun harus memeriksa nama-nama di batu nisan di area pemakaman yang tak jauh dari Kampung Cibitung. Untuk mencatat tanggal kematian warga.
"Itu terjadi di RT 03, lokasinya tak jauh dari rumah," jelasnya.
Dikira Pendata Bansos
Meskipun tinggal di Kampung Cibitung, dirinya yang masih berumur 20 tahun itu tak mengenal semua orang yang ada di sana. Sampai-sampai dikira sebagai petugas pendataan untuk bantuan sosial (bansos).
"Karena saya masih muda, saya belum terlalu mengenal warga-warga di sini, apalagi yang sepuh. Saat saya datang untuk coklit, warga mengira saya petugas bansos dan malah curhat tentang bantuan pemerintah," ungkapnya.
Kata dia, warga tak begitu bisa membedakan mana petugas bansos dan petugas Pantarlih.
"_Neng, kunaon abdi teu acan kengeng bantosan_ (Neng, kenapa saya belum menerima bansos)," kata Diana menirukan curhatan warga.
Hal itu kerap terjadi, bahkan hampir di setiap rumah yang dia datangi, selalu menanyakan bansos.
"Padahal itu bukan ranah saya," ungkap mahasiswi cantik itu.
Bahkan beberapa warga sempat meminta upah untuk tiap tandatangan formulir coklit yang dia bawa. Ada tiga lembar formulir, sehingga dia dimintai tiga amplop.
"Ah ini _mah_ harus ada amplop, apalagi tandatangannya tiga kali, begitu kata waega. Bahkan ada beberapa dari mereka tak mau tandatangan karena saya ga bawa bantuan," ungkap Diana lagi.
- Diajak Nikah
Hal paling mengejutkan menurut Diana selama coklit adalah saat dirinya diajak nikah oleh seorang sepuh.
Satu dari ratusan warga yang dia data, adalah seorang kakek yang tinggal sebatang kara. Tak heran, paras Diana memang cantik.
"Ini serius, si kakek yang saya coklit sempat ngajak saya nikah," kata mahasiswi semester dua itu.
"Baturan we atuh abah di diyeu, abah sapopoe nyalira (Temani saja abah di sini, abah tiap hari sendiri)," ujarnya mengulang ajakan nikah seorang sepuh di kampungnya.
Dia mengaku sempat merasa takut saat mendengar ajakan tersebut dan buru-buru menyelesaikan tugasnya.
Ingin Pijat Kretek
Diana mengaku tugasnya sebagai Pantarlih telah rampung. Dalam enam hari, dirinya selesai mencocokan data pemilih di tiga RT tersebut.
"Enam hari selesai. Karena saya lihat yang lain juga sudah selesai, makanya saya gak mau kalah," kata dia.
Dalam sehari, dirinya bisa men-coklit 60 sampai 70 data warga di Kampung Cibitung. Selama enam hari bertugas, Diana mengaku kelelahan.
Dirinya bahkan ingin menggunakan gajinya untuk dipijat kretek atau chiropractic.
"Gaji sebagai Pantarlih mau dipake pijet kretek sih. Capek badan saya, sepertinya enak kalau dipijet kretek," ungkapnya.
Editor : Ayi Sopiandi
Artikel Terkait