Siapa Berhak Memegang Uang dalam Rumah Tangga? Simak Tinjauan dalam Hukum Islam

M. Rizki Fauzi Sidik
Siapa yang berhak mengelola uang dalam rumah tangga menurut hukum Islam. (Foto: Istimewa)

JAKARTA, iNewsCianjurid - Siapa yang berhak mengelola uang dalam rumah tangga berdasarkan hukum Islam menarik disimak. Pasalnya, saat ini, suami dan istri masing-masing bekerja sehingga memiliki pendapatan sendiri.

Sejatinya, seorang istri sudah umum menjadi pengelola keuangan dalam rumah tangga. Meski bekerja, biasanya pasangan suami istri akan mengumpulkan seluruh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

BACA JUGA:
Pria di Bekasi Tewas Gantung Diri gegara Ribut Urusan Rumah Tangga

Lalu, bagaimana pandangan Islam terkait pembagian keuangan dalam rumah tangga? 

Perlu diketahui bahwa nafkah atau pemberian belanja terkait dengan kebutuhan pokok merupakan kewajiban yang harus diberikan seorang suami terhadap istrinya. Kewajiban memberi nafkah untuk istri oleh suami bisa ditemukan dalam Al-Qur’an surat At-Thalaq ayat 6.

 أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ 

BACA JUGA:
Rumah Tangga Tak Harmonis Lagi, Nathalie Holscher Gugat Cerai Sule 

Artinya, “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. Janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” 

Sebuah Hadits juga menegaskan bahwa nafkah merupakan hak istri yang harus dipenuhi oleh suami. “Engkau beri dia makan jika engkau makan. Engkau beri dia pakaian jika engkau memiliki pakaian,” (HR Ahmad).

Namun untuk besaran nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada istrinya, tidak ada penjelasan secara pasti dalam Alquran dan Hadits. Maka dari itu, tidak ada pembagian besaran yang mutlak yang harus diberikan suami terhadap istrinya. 

Akan tetapi, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid mengatakan bahwa terdapat perbedaan pendapat antara para Imam Mujtahid dalam mengatur besaran nafkah untuk istri. 

وأما مقدار النفقة فذهب مالك إلى أنها غيرمقدرة بالشرع وأن ذلك راجع إلى ما يقتضيه حال الزوج وحال الزوجة، وأن ذلك يختلف بحسب اختلاف الأمكنة والأزمنة والأحوال، وبه قال أبو حنيفة. وذهب الشافعي إلى أنها مقدرة: فعلى الموسر مدان، وعلى الأوسط مد ونصف، وعلى المعسر مد. 
Artinya: "Adapun terkait ukuran nafkah, Imam Malik berpendapat bahwa kadar nafkah tidak ditentukan secara syar’i. Kadar nafkah harus merujuk pada keadaan suami dan keadaan istri yang bersangkutan. Itu pun berbeda-beda sejalan dengan perbedaan tempat, waktu, dan keadaan. Demikian pula pendapat Imam Abu Hanifah. Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa kadar nafkah ditentukan oleh syara’. Untuk suami dengan penghasilan tinggi, wajib menafkahi istrinya sebanyak dua mud. Untuk kelas menengah, satu setengah mud. Sementara mereka yang berpenghasilan rendah, hanya satu mud setiap harinya." 

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa suami diwajibkan memberikan nafkah kepada sang istri sesuai dengan kemampuan finansialnya. Namun perlu digaris bawahi bahwa kebijaksanaan dan keikhlasan dalam pembagian uang suami istri begitu diperlukan agar tercipta keadilan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Wallahu a’lam.

Editor : Nursidik

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network