CIANJUR, iNews - Setelah diberitakan 300 ekor ayam petelur milik warga Ciranjang mati dalam waktu seminggu, hal senada pun disampaikan oleh salah seorang warga Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur.
Pemelihara ayam, Andika (19) warga Kampung Parungbitung Desa Kertamukti, Kecamatan Haurwangi, mengungkapkan, ayam pelung peliharaaannya mati bergeletakan.
"Ayam pelung milik Kakek saya mati 5, belum punya Paman saya, juga mati dan mengalami sakit atau muyung," ungkapnya.
Andika menambahkan, ayam pelung tersebut sudah di pelihara dari kecil.
"Padahal suka di kasih makan dengan teratur dan sebelumnya juga ayam itu sehat tapi entah karena cuaca atau apa jadi mati mendadak," pungkasnya.
Belum lama ini ramai diperbincangkan, Penyakit mulut dan kuku (PMK) tengah mewabah di Indonesia. Penyakit ini banyak menyerang hewan ternak mulai dari sapi, kerbau, kambing, domba, rusa, babi, unta dan beberapa jenis hewan liar seperti bison, antelope, jerapah dan gajah.
Tapi, apakah virus PMK ini bisa menyerang Ayam ? Dan apakah 300 ekor ayam peternak milik warga Ciranjang dan Haurwangi yang mati mendadak, itu karena virus?
Secara terpisah, Kordinator Tim Satgas Pengendalian PMK Universitas Diponegoro (UNDIP), drh. Dian Wahyu Harjanti, Ph.D, menuturkan, penyakit mulut dan kuku (PMK) adalah penyakit infeksi virus (family Picornaviridae) yang bersifat akut dan sangat menular pada hewan berkuku genap atau belah (cloven-hoofed).
Nama lain penyakit ini antara lain adalah Aphthae Epizootica (AE), foot and mouth disease (FMD). Virus PMK berukuran kecil (± 20 milimikron), tidak ber-amplop tanpa lapisan lemak dan memiliki capsid yang kuat sehingga virus ini sangat tahan terhadap desinfektan yang cara kerjanya melarutkan lemak.
"Berdasarkan sifat dan struktur virus tersebut tidak semua jenis desinfektan peka terhadap virus ini, dimana pada saat ini Kementerian Pertanian RI bekerjasama dengan Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) segera me-release SOP panduan pencegahan dan penanganan PMK termasuk jenis desinfektan yg direkomendasikan," katanya.
Penyakit PMK ini tidak ditularkan ke manusia atau bukan penyakit zoonosis, sehingga yang menjadi fokus pemerintah saat ini adalah jangan sampai penyakit ini menyebar antar-ternak yang peka dan jangan sampai manusia menjadi perantara atau penyebar kepada hewan yang peka.
"Pada manusia sendiri, itu tidak menimbulkan penyakit, namun ada dampaknya pada hewan. Hewan yang peka terhadap PMK adalah sapi, kerbau, kambing, domba, rusa, babi, unta dan beberapa jenis hewan liar seperti bison, antelope, jerapah dan gajah," tambahnya.
Penyakit mulut dan kuku (PMK) adalah penyakit hewan menular yang paling penting dan paling ditakuti oleh semua negara di dunia. Penyakit ini dapat menyebar dengan sangat cepat dan mampu melampaui batas negara serta dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat tinggi.
Untuk kerugian ekonomi berupa kematian ternak dan tingginya angka kesakitan, adanya hambatan perdagangan, terganggunya industri turisme, operasional pemberantasan penyakit, serta gangguan terhadap aspek sosial budaya dan keresahan masyarakat.
Lanjut Dian, Indonesia pernah mengalami beberapa kejadian wabah PMK, mulai dari masuknya PMK ke Indonesia pada tahun 1887 di Malang, Jawa Timur yang selanjutnya menyebar ke berbagai daerah, sampai kejadian wabah terakhir di pulau Jawa pada tahun 1983 yang dimulai dari Jawa Timur.
Dengan berbagai upaya pengendalian dan penanggulangan PMK, akhirnya Indonesia berhasil mendeklarasikan status bebas PMK pada tahun 1986 melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 260/Kpts/TN.510/5/1986 dan kemudian mendapatkan pengakuan dunia terhadap status bebas PMK tanpa vaksinasi sebagaimana tercantum dalam Resolusi Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) Nomor XI Tahun 1990.
Terdapat 7 serotipe PMK yang telah diidentifikasi yaitu tipe Oise (O); Allemagne (A); German Strain (C); South African territories 1 (SAT 1); SAT 2; SAT 3; dan Asia 1. Tipe O, A, C, SAT 1, SAT 2, SAT 3 dan Asia 1 tersebut yang secara imunologis berbeda satu sama lain. Penyebab wabah PMK di Indonesia pada tahun 1983 hanya disebabkan oleh satu serotipe, yaitu serotipe O.
“Penyakit ini ditandai dengan adanya pembentukan vesikel atau lepuh dan erosi di mulut, lidah, gusi, nostril, puting, dan di kulit sekitar kuku, pincang dan bahkan kuku bisa terlepas, hipersalivasi, hewan lebih sering berbaring; pada ternak potong terjadi penurunan bobot badan dan pada ternak perah terjadi penurunan produksi susu yang drastis," ujarnya.
Morbiditas biasanya tinggi mencapai 100%, namun mortalitas/tingkat kematian untuk hewan dewasa biasanya sangat rendah, akan tetapi pada hewan muda bisa mencapai 50%. Pada pedet, dengan pemeriksaan post mortem, bisa ditemukan adanya perubahan pada otot jantung (myocardium) berupa adanya garis-garis loreng, putih, abu-abu atau kekuningan yang sering disebut dengan istilah tiger heart.Pemeriksaan patologi ini hanya penting dilakukan untuk membuat diagnosa banding untuk penyakit lain selain PMK.
Lebih lanjut ia menyampaikan, hewan yang terinfeksi PMK dapat mengeksresikan virus pada cairan vesikel yang terkelupas, udara pernafasan, saliva, susu, semen, feces dan urin. Hewan tertular yang masih dalam status preklinis, yaitu belum menampakkan gejala klinis yang jelas ternyata dapat mengeksresikan virus.
Kenyataan ini sangat berbahaya mengingat ada kemungkinan hewan yang belum menunjukkan gejala klinis tersebut dijual atau dipotong sehingga berpotensi menyebarkan penyakit pada hewan peka lainnya. Masa inkubasi dipengaruhi oleh strain virus PMK, jumlah virus dan rute infeksi. Untuk infeksi alami dalam jumlah yang besar, masa inkubasi berkisar antara 2-3 hari, akan tetapi apabila jumlahnya sedikit, maka inkubasi bisa mencapai 10-14 hari.
Hewan peka dapat tertular melalui jalur inhalasi (udara / pernafasan), ingesti (melalui pakan/ minum), perkawinan (alami ataupun buatan), serta kontak bersentuhan. Penyebaran penyakit antar area sering disebabkan oleh lalu lintas hewan tertular, kendaraan, peralatan, orang dan produk hewan yang terkontaminasi virus PMK. Anjing, kucing, rodensia, unggas, dan jenis burung tidak termasuk kedalam hewan yang peka terhadap virus PMK, namun dapat menularkan PMK kepada hewan peka secara mekanis, yaitu dengan memindahkan kontaminan.
Pembuangan limbah dari tempat tertular, misalnya melalui aliran air, selokan, sungai dapat mencemari lingkungan dan bisa menjadi sumber kontaminasi bagi kendaraan, hewan dan rumput. Berdasarkan literatur, penyebaran virus PMK dapat mencapai 10 km, yang dipengaruhi oleh perputaran udara.
Penyakit ini tidak ditularkan ke manusia (bukan penyakit zoonosis), sehingga daging dan susu aman untuk dikonsumsi. Terlebih lagi, budaya masyarakat Indonesia mengkonsumsi daging matang yang dimasak. Melalui proses memanasan hingga bagian tengah daging mencapai 70°C selama 30 menit virus PMK akan mati.
Selain itu, setelah ternak disembelih, secara alamiah terjadi proses rigor mortis yang mengakibatkan pH daging turun dibawah 5,9. Dan berdasarkan penelitian bahwa pada pH tersebut virus PMK inaktif. Sedangkan pada susu, upaya jaminan keamanan dilakukan minimal dengan pasteurisasi pada suhu 72°C selama 15 detik.
“Tidak semua sapi yang disembelih semua organnya bisa dikonsumsi. Sapi yang terinfeksi juga ada yang tidak menunjukkan gejala klinis atau bahasa kedokterannya adalah ‘sub-klinis’ atau mungkin memang belum sampai onset-nya. Seperti yg kita ketahui onsetnya bisa sampai 14 hari.
Jika sapi sudah dipotong, organ yang ada ditubuh sapi terutama sumsum tulang dan tulangnya, kepala, limfoglandula dan jeroan harus dipisahkan dari daging dan ditangani dengan baik karena dapat mengandung virus. Penanganan yang direkomendasikan adalah perebusan mendidih selama minimal 30 detik terhadap organ tersebut.
"Jadi kalau daging tanpa tulang bisa dikatakan relative aman atau dapat diabaikan karena pedoman dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE / World Organization for Animal Health) bahwa bagian yang paling aman adalah daging tanpa tulang dan tanpa limfoglandula,” terang Dokter Hewan Dian, dikutip dari laman Undip.ac.id.
Editor : Nursidik